Sunday, April 18, 2010

Kampanye, pesawat, lalat, please deh...

Kampanye, kyai, ibu-ibu, lalat, please deh....
Seperti biasa, ibu si Temon siap siap berangkat pengajian rutin, setelah si Temon turun masjid, atau setelah pulang sholat Jum'at. Meski mendung tebal menggantung, bagi bu Temon tetap bersiap untuk berangkat. Pengajian adalah sarana baginya untuk bersilaturahmi sama tetangga, ketemu temannya yang setiap hari berjualan di pasar, tapi dengan suasana yang lebih sejuk. Nah, kalo disini yang biasanya bersaing mencari rizki di pasar, disini bersaing mencari ridlo.
Bu Timin bersyukur, meski dia sendiri hanya penjual sayuran di pasar, anaknya si Temon lebih aktif di pengajian sejak kecil, dan sekarang sudah jadi mantu pak Kusnan, orang sederhana yang kebetulan mendapat hidayah dari Allah untuk menjadi punggawa masjid di desanya. Bahkan kyai yang sering mengisi pengajian di masjid itu, sempat tidak terima Temon jadi mantu sang punggawa masjid. Temon hanya orang biasa, bukan dari kalangan putra kyai, meski Temon seperti anak lain juga mondok di pesantren yang banyak bertebaran di desanya. Kebetulan Kyai itu dari pondok yang lebih besar dari pondoknya si Temon yang hanya sedikit santri.
Bu Timin hanya bisa berdoa, tadi si Temon pamit untuk ke ibukota kabupaten, seperti biasa urusan murid-muridnya. Semoga Temon tidak basah kehujanan, dan segera bisa ikut mertuanya membantu persiapan di pengajian. Dibawanya beberapa nasi bungkus yang sudah dipersiapkannya untuk dikumpulkan ke pengurus pengajian sudah lengkap sejak tadi. Beruntung, biarpun cuma seadanya, hari ini daun pepaya di halaman belakang bisa dimasak buntil kesukaan bapaknya si Temon dan bisa berlebih. Ditambah ikan pindang dipasar, semoga jamaah yang kebetulan mendapat bagian nasi tersebut suka.
Sejam kemudian... Bu Timin terbengong bengong... saat kyai kemudian berbicara tentang kampanye yang setahu bu Timin memang sebentar lagi ramai lagi. Hmm.. kali ini pilihan sinuhun praja karana.








Yang ini dari gegap gempita kampanye Presiden. Posted Jkt, July 2009.

Kampanye, pesawat, lalat, please deh...


Hmmm…. sebagai warga awam politik golput sebenarnya bukan jadi pilihan si Temon. Beberapa kali pesta demokrasi digelar dinegri ini, Temon tak bisa datang ke bilik suara. Hanya karena dia mempertahankan KTP ditempat kampung halamannya, karena enggan tercabut seakar-akarnya dari kampung halamannya, alhasil dia jika ingin berpartisipasi dalam pesta demokrasi dia harus mudik. Mudik baginya sumber semangat bangun pagi untuk mencari rejeki.
Saat hak pilihnya yang pertama Temon masih menanam padi, sawah yang ditanaminya jauh dari rumah. Alhasil, kalo dia pulang, dia harus ikut pilihan bapaknya yang pekatik dusunnya. Padahal Temon sering kasihan, bapaknya bertahun tahun tak henti pontang panting kecapaian siang malam bersama perangkat dusunnya menjaga agar pesta rakyat berjalan aman dan damai. Bapaknya pun berpesan, ‘Nak, meski kamu jauh dari rumah, milihlah ditempatmu sekarang, dengan pilihan yang sama dengan Bapakmu, kamu hidup dari situ nak..’ Temon pun memilih menyenangkan Bapaknya, menuju bilik suara dan memilih pilihan seperti anjuran Bapaknya. Pilihannya sendiri sebenarnya berbeda dari Bapaknya.
Pesta demokrasi berikutnya, Temon sudah menjadi buruh di kampung lebih jauh lagi karena setelah panen ternyata dia tak sanggup membayar sewa lagi. Dia memilih jadi buruh disiang hari dan menabung agar bisa ikut sekolah malam demi meneruskan pendidikannya yg tak seberapa. Temon pingin ikut pesta itu, dia juga sudah punya pilihan siapa yang diimpikannya jadi pemimpin negeri yang dicintainya ini. Lagi-lagi kalo dia pulang waktunya mepet, kantongnya otomatis akan menipis, dan juragan hanya memberinya prei sehari saja. Mana cukup waktu pulang pergi ke kampung. Alhasil… dia hanya melihat pesta itu di perantauan.
Sekali waktu, pernah dia bener-bener merasakan indahnya menjadi warga negrinya, ikut berpartisipasi dalam keramaian demokrasi. Sayang calon yang diimpikannya jadi pemimpin tak terpilih. Tapi dia berlapang dada, baik buruk toh itu pilihan lebih banyak orang.
Namun, pesta kali ini dia lebih longgar, dia punya waktu untuk pulang dan ikut pesta akbar lagi. Seringkali dia melongok ke telivisi di kelurahan, demi mencari informasi pesta demokrasi. Kelurahan yang notabene deket dengan pasar tempatnya mencari rejeki. Temon senang melihat dikelurahan, meski bisa dia menumpang di tetangga, tapi Temon lebih memilih di kelurahan, karena sekalian bisa bertemu bermacam-macam penonton. Ada pegawai, pedagang, satpam, guru, santri, buruh seperti dirinya, bahkan tak jarang anak-anak yang belum punya hak pilih. Mereka berasal dari berbagai kampung bahkan dari luar pulau. Macam-macam pula komentar dan polah mereka, dan dia bersyukur, mereka masih sanggup menjaga diri dalam perbedaan calon-calon mereka. Dia pun bersyukur, seramai apapun, bila surau disebelah kelurahan berkumandang adzan, teman-teman yang punya kewajiban menghadap beranjak pergi membersihkan diri dan berbareng mencium sajadah panjang. Sementara yang beragama lain sungguh toleransi, tak pernah mencampuri, bahkan kadang mereka malah menyadarkan ‘eh waktunya sholat tuh..’ Duh indahnya kebersamaan dalam perbedaan.
Temon tersenyum senang melihat para calpim-calpimnya berlomba-lomba menebar janji dan rencana yang indah indah yang kadang sulit dimengerti. Para peserta kampanye itu berjanji akan bener-bener berpihak pada nasib wong cilik seperti dirinya. Temon berpikir positif, sambil berharap, semoga pemimpin yang ditakdirkan sang Kuasa, siapapun dia bener-bener bukan pemimpin yang hanya cari-cari kuasa, benar benar menepati janji indahnya.
Ternyata selain semakin pandai dalam berbicara, berwacana, tapi rombongan dibelakang calpim calpim itu saling bergontok gontokan, saling mencibir, saling mengelak, ejek mengejek, sok kuasa, sewenang-wenang. Tak lagi sama dalam kata dan perbuatan, yang membikin Temon jeri, kok mirip adu domba.
Semakin dekat waktu pesta, semalam Temon di kelurahan bahkan sering jadi tak sadar, mulutnya yang memang seketurunan dengan penyanyi berbibir seksi pujaannya terbuka, ternganga, melongo saat melihat kampanye dikotak kaca yang ajaib itu semakin menjadi agresif dan menjurus negatif. Temon sedang ngeri, nampaknya penonton dikelurahan pun nyaris tak lagi menahan diri melihat berita kampanye. Temon tak sempat menutup mulutnya, padahal dia berdiri disamping pedagang entah makanan apa, tapi mengundang seekor lalat yang terbang bak pesawat… Dan lalat yang tak punya sopan santun nylonong masuk rongga mulutnya…
‘Glek, hek!! ’Huuk egh! Huk hukk.’ Temon pun reflek menutup mulut dowernya, tapi apa lacur.. Sang pesawat lalat telah meluncur sukses tertelan kedalam sanubari perutnya. Temon berusaha batuk mengeluarkannya tapi gagal.. Pikir Temon ‘Masak sih gara-gara kampanye aku sampe kesedak lalat..’ Huh, mending makan sate dari pada makan lalat. Ini baru di kotak kaca televisi, tidak lihat kampanye asli.’
Selagi Temon sibuk dengan perutnya yang tiba-tiba mules.. disekitarnya sudah ada terdengar suara suara.
‘Makanya… mingkem Mon…, lalat bak pesawat jaman sekarang, kalo mendarat tak selalu ditempatnya..’ Timan sambil tersenyum berkomentar.
‘Coba kamu milih pilihanku, gak bakaalll deh kamu disengsarakan lalat.’ Timun ikut bersuara.
‘Pilihanmu belum sekarang waktunya Mon, masih nanti…’ Timin berkata.
‘Eh janganlah begitu, yang bener begini…’ Ada lagi yang lain entah siapa berucap tak terima.
Temon jadi deg-degan waktu para pendukung calpim-calpim dikelurahan mulai ribut sendiri… namun tak sampai timbul onar. Untungnya tiba-tiba suara yang lebih keras terdengar… Ah, rupanya punggawa surau menyalakan speakernya bersiap adzan… Seperti biasa, mereka menghentikan apapun yang mereka lalukan. Keonaran akibat kampanye pun urung terjadi.
Temon sendiri memilih pulang. Dia masih ngeri jika gara-gara tersedak tiba-tiba nanti penonton dikelurahan jadi ajang gontok-gontokan. Dia ogah menjadi semakin bingung…karena semakin dia sering bingung semakin sering bibirnya melongo. Akan semakin sering dia tersedak diwaktu yang singkat menjelang pesta ini. Siapapun yang dipilihnya esok, dia hanya bisa mengembalikan pada yang Kuasa sebenar-benar Kuasa. Kali ini dia sudah yakin akan memakai haknya untuk memilih.. karena toh dia bisa pulang kampung. Biarlah… uhhh.. kampanye semakin tak sedap dirasa…

No comments:

tulisan baru

hadeeeh... gw dari dulu suka nulis.. jangan dibilang kena fb, wa gw gak pernah nulis. emang gw gak suka nyetatus... riskan kalo blog ...